Selamat Membaca dan Jangan Lupa Isikan Komentar Anda Ya.....
Barangsiapa belajar ilmu figh tanpa belajar tassawuf maka ia adalah fasiq. Siapa saja yang belajar Ilmu Tassawuf tanpa belajar Ilmu Figh maka ia adalah Zindiq, dan siapa saja yang mengumpulkan keduanya, maka ia adalah ahli Hakikat (Syeikh Al Fasi, Qawaid Al-Tasawwuf)

Monday, 28 November 2011

Fenomena Bom WTC Berujung Pencarian Masal Akan Kebenaran Islam!

Tudingan bahwa umat Islam pelaku serangan 11 September 2011 di New York, Amerika Serikat, membuat banyak warga AS justru penasaran dan ingin tahu Islam. Seperti banyak orang lain yang kebingungan pasca serangan 9/11, Johannah Segarich, warga Boston, Amerika Serikat (AS) bertanya pada dirinya sendiri, “Agama (Islam—red) apa ini yang bisa menginspirasi orang untuk melakukan serangan ini?”

Dia pernah memang mempelajari agama lain, tetapi tidak Islam. Jadi, dia pun membeli terjemahan al-Quran, bertanya-tanya apakah pemahaman dia tentang Islam sebagai agama patriarkal dan sekarang sebagai agama kekerasan, benar adanya.

Lalu dia pun sampai ke surah pertama, dengan tujuh ayat yang berpesan agar manusia mencari bimbingan dari Sang Pencipta Yang Maha Pengasih. Ia pun selesai membaca al-Quran dalam beberapa minggu kemudian dan mulai membacanya sekali lagi. Sekitar 10 minggu setelah tragedi 9/11, “Saya menyadari,” katanya, “bahwa saya telah membuat keputusan.”

Segarich mulai mempelajari Islam lebih intens, dan dalam beberapa bulan, instruktur musik kelahiran Utah itu mengucapkan syahadat, menyatakan diri sebagai Muslimah di Islamic Society of Islam Boston, Cambridge.

 “Rasanya seperti gila melakukan semua ini. Saya seorang wanita pekerja profesional setengah baya, sangat independen, sangat kontemporer, dan di sinilah saya beralih ke agama ini, yang saat ini sangat dihina,” kenang Segarich, seperti dikutip situs berita agama Religion News Service, Rabu (24/8).

Memang, sepertinya ini bertentangan dengan intuisi melihat kenyataan bahwa warga AS memutuskan bergabung dengan Islam, agama yang banyak dipandang di Negeri Paman Sam itu sebagai simbol terorisme dan kekerasan—terutama setelah 9/11. Tapi ada lebih banyak orang seperti Segarich yang, didorong oleh rasa ingin tahu, menjadi mualaf.

Menurut para ahli, mayoritas mualaf pasca 9/11 adalah perempuan. Selain itu, warga Hispanik dan Afrika-Amerika adalah kelompok etnis yang paling banyak menjadi mualaf. Meskipun jumlahnya sulit dipastikan, pengamat memperkirakan bahwa sebanyak 20.000 warga AS masuk Islam setiap tahunnya.

Beberapa mualaf yang sempat menjadi laporan utama di media massa adalah Yvonne Ridley, wartawan Inggris yang masuk Islam pada 2003 setelah ditawan kelompok Taliban di Afghanistan. Lalu, ada Lauren Booth, aktivis yang juga saudara ipar mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair, yang menjadi mualaf tahun lalu setelah menghadiri demonstrasi pro-Palestina di Teheran, Iran.

Angela Collins Telles dibesarkan di selatan California, tapi kerap melakukan perjalanan ke Mesir dan Suriah, tempat dia bertemu orang yang menurutnya paling dermawan dan penuh kasih. Ketika retorika anti-Muslim terjadi pasca 9/11, Collins Telles merasa perlu membela Muslim.

 “Saya melihat negara saya mengutuk orang ini sebagai teroris dan penindas perempuan, dan saya tidak bisa memikirkan apa pun selain kebenaran,” katanya.
“Saya merasa perlu berdiri dan membela mereka. Tapi kemudian saya sadar bahwa saya tidak bisa berdebat tanpa pengetahuan.”

Seperti mualaf lain, Collins Telles mengatakan sejumlah keyakinan Kristen, seperti Trinitas, tidak cukup memuaskan dia. “Konsep Tuhan sebagai Zat paling indah sesuai dengan apa yang saya percayai,” kata Collins Telles masuk Islam beberapa bulan setelah 9/11.





Melihat kenyataan di atas, kini banyak masjid meluncurkan program membantu para mualaf belajar doa, keyakinan dasar, dan perilaku yang tepat dalam Islam.
Vaqar Sharief dari Islamic Center di Wilmington, menyatakan masjid di daerahnya mengislamkan empat atau lima warga setiap bulan.

Terlepas dari antusiasme mereka, beberapa mualaf cemas akan perlakuan teman dan kolega, apakah mereka akan menjadi sasaran pelecehan atau serangan berbau sektarian.

Trisha Squires, seorang mualaf satu bulan, setelah membaca syahadat pada 31 Juli, bahkan harus melepas jilbab saat bekerja, demi menghindari prasangka dari bosnya.
“Saya tak pernah peduli apakah saya akan diterima atau tidak,” kata Collins Telles, yang sekarang tinggal di Brazil bersama suaminya, yang juga masuk Islam setelah bertemu dia. “Saya tahu bahwa saya telah menemukan Tuhan, dan hanya itulah yang saya inginkan.” (Pelita Online/Huffington Post).

Artikel Terkait:

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

PRAY TIME

Fenomena Bom WTC Berujung Pencarian Masal Akan Kebenaran Islam!

Tudingan bahwa umat Islam pelaku serangan 11 September 2011 di New York, Amerika Serikat, membuat banyak warga AS justru penasaran dan ingin tahu Islam. Seperti banyak orang lain yang kebingungan pasca serangan 9/11, Johannah Segarich, warga Boston, Amerika Serikat (AS) bertanya pada dirinya sendiri, “Agama (Islam—red) apa ini yang bisa menginspirasi orang untuk melakukan serangan ini?”

Dia pernah memang mempelajari agama lain, tetapi tidak Islam. Jadi, dia pun membeli terjemahan al-Quran, bertanya-tanya apakah pemahaman dia tentang Islam sebagai agama patriarkal dan sekarang sebagai agama kekerasan, benar adanya.

Lalu dia pun sampai ke surah pertama, dengan tujuh ayat yang berpesan agar manusia mencari bimbingan dari Sang Pencipta Yang Maha Pengasih. Ia pun selesai membaca al-Quran dalam beberapa minggu kemudian dan mulai membacanya sekali lagi. Sekitar 10 minggu setelah tragedi 9/11, “Saya menyadari,” katanya, “bahwa saya telah membuat keputusan.”

Segarich mulai mempelajari Islam lebih intens, dan dalam beberapa bulan, instruktur musik kelahiran Utah itu mengucapkan syahadat, menyatakan diri sebagai Muslimah di Islamic Society of Islam Boston, Cambridge.

 “Rasanya seperti gila melakukan semua ini. Saya seorang wanita pekerja profesional setengah baya, sangat independen, sangat kontemporer, dan di sinilah saya beralih ke agama ini, yang saat ini sangat dihina,” kenang Segarich, seperti dikutip situs berita agama Religion News Service, Rabu (24/8).

Memang, sepertinya ini bertentangan dengan intuisi melihat kenyataan bahwa warga AS memutuskan bergabung dengan Islam, agama yang banyak dipandang di Negeri Paman Sam itu sebagai simbol terorisme dan kekerasan—terutama setelah 9/11. Tapi ada lebih banyak orang seperti Segarich yang, didorong oleh rasa ingin tahu, menjadi mualaf.

Menurut para ahli, mayoritas mualaf pasca 9/11 adalah perempuan. Selain itu, warga Hispanik dan Afrika-Amerika adalah kelompok etnis yang paling banyak menjadi mualaf. Meskipun jumlahnya sulit dipastikan, pengamat memperkirakan bahwa sebanyak 20.000 warga AS masuk Islam setiap tahunnya.

Beberapa mualaf yang sempat menjadi laporan utama di media massa adalah Yvonne Ridley, wartawan Inggris yang masuk Islam pada 2003 setelah ditawan kelompok Taliban di Afghanistan. Lalu, ada Lauren Booth, aktivis yang juga saudara ipar mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair, yang menjadi mualaf tahun lalu setelah menghadiri demonstrasi pro-Palestina di Teheran, Iran.

Angela Collins Telles dibesarkan di selatan California, tapi kerap melakukan perjalanan ke Mesir dan Suriah, tempat dia bertemu orang yang menurutnya paling dermawan dan penuh kasih. Ketika retorika anti-Muslim terjadi pasca 9/11, Collins Telles merasa perlu membela Muslim.

 “Saya melihat negara saya mengutuk orang ini sebagai teroris dan penindas perempuan, dan saya tidak bisa memikirkan apa pun selain kebenaran,” katanya.
“Saya merasa perlu berdiri dan membela mereka. Tapi kemudian saya sadar bahwa saya tidak bisa berdebat tanpa pengetahuan.”

Seperti mualaf lain, Collins Telles mengatakan sejumlah keyakinan Kristen, seperti Trinitas, tidak cukup memuaskan dia. “Konsep Tuhan sebagai Zat paling indah sesuai dengan apa yang saya percayai,” kata Collins Telles masuk Islam beberapa bulan setelah 9/11.





Melihat kenyataan di atas, kini banyak masjid meluncurkan program membantu para mualaf belajar doa, keyakinan dasar, dan perilaku yang tepat dalam Islam.
Vaqar Sharief dari Islamic Center di Wilmington, menyatakan masjid di daerahnya mengislamkan empat atau lima warga setiap bulan.

Terlepas dari antusiasme mereka, beberapa mualaf cemas akan perlakuan teman dan kolega, apakah mereka akan menjadi sasaran pelecehan atau serangan berbau sektarian.

Trisha Squires, seorang mualaf satu bulan, setelah membaca syahadat pada 31 Juli, bahkan harus melepas jilbab saat bekerja, demi menghindari prasangka dari bosnya.
“Saya tak pernah peduli apakah saya akan diterima atau tidak,” kata Collins Telles, yang sekarang tinggal di Brazil bersama suaminya, yang juga masuk Islam setelah bertemu dia. “Saya tahu bahwa saya telah menemukan Tuhan, dan hanya itulah yang saya inginkan.” (Pelita Online/Huffington Post).

0 comments:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Affiliate Network Reviews