Selamat Membaca dan Jangan Lupa Isikan Komentar Anda Ya.....
Barangsiapa belajar ilmu figh tanpa belajar tassawuf maka ia adalah fasiq. Siapa saja yang belajar Ilmu Tassawuf tanpa belajar Ilmu Figh maka ia adalah Zindiq, dan siapa saja yang mengumpulkan keduanya, maka ia adalah ahli Hakikat (Syeikh Al Fasi, Qawaid Al-Tasawwuf)

Thursday 5 January 2012

Pemahaman Tassawuf oleh Imam Al-Ghazali

http://www.kikiyawe.web.com
Begitu banyak pengertian manurut bahasa dan sitilah akan sebuah kata. Banyak pula persengketaan perselisihan yang menyebabkan perpecahan pola pikir. Terang peringatan itu bahwa perbedaan adalah rahmat bagi manusia, begitulah sinyal yang diberikan Allah dalam lembaran-lembaran Quran. Dalam perkataan lain Allah memperingatkan manusia bahwa Ku ciptakan manusia dengan berbangsa, bersuku, keturuanan dari berbagai macam, namun mengarah kepada satu bapak yaitu Adam. Sungguh semua itu membuat sebuah perbedaan yang tetap membuat manusia harus terus belajar dan menganalisa tiap pola pikir dan tindak tanduk. 


Sebagian cendrung melihat sisi perbedaan dan sebagian lain melihatnya dengan sisi kebaikannya saja. Dan keduanya belumlah termasuk dalam golongan Rosulullah, dimana seorang muslim selalu menempatkan sebuah perbedaan dengan lapang dada (ditengah-tengah). Sungguh berbuat berlebih-lebihan mendatangkan mudharat bagi seorang muslim, begitulah seorang arif berpesan kepada anaknya suatu waktu.


Sengaja tulisan ini kami sajikan dengan pembukaan diatas, agar teranglah hati kita untuk melihat sesuatu bukan karena perbedaan kalimat, pemahaman, guru belajar, sekolah kita menimba ilmu atau apalah namanya. Semua perbedaan hanyalah cobaan bagi manusia untuk menikmati keindahan dan keagungan Allah semata.
Sungguh indah Allah memperingatkan manusia "La'allakum Tatafakkaruun". Berpikir dan teruslah berpikir akan dirimu, meneliti hati dan seluk beluknya. Begitulah ajaran sufi dikembangkan. Tentara jasad mengantarkan kepada yang zahir agar syariat menjadi sunnatullah, dan niat (di dalam hati) atau dengan bahasa lain "motifasi manusia terhadap "segala sesuatu" selayaknyalah tertuju pada yang Ahad*, Yang Maha Kebenarannya. Semoga kita dimasukkan Allah kedalam golongan yang melihatnya nanti. Amin.


Seorang sufi baru dianggap sufi jika kefakiran merupakan jubahnya, sabar merupakan pakaiannya, ridha merupakan kendaraannya dan tawakkal merupakan tingkah lakunya. Selain itu, hanya Allah lah sandarannya.


Seorang sufi selalu menggunakan anggota badannya untuk melakukan ketaatan, mengendalikan syahwat, zuhud terhadap dunia sangat sangat selektif terhadap keinginan-keinginan nafsu.


Seorang sufi sama sekali tidak boleh mencintai dunia (kalau mencintai dunia artinya bukan sufi. pen). Jika terpaksa harus mengambil dunia, ia tidak boleh melebihi kebutuhannya. Seorang sufi harus betul-betul bersih dari kotoran hati sebagai langkah mencintai Allah, menemui Nya dan menyerahkan segala-galanya kepada Nya.


Hati seorang sufi sepenuhnya harus dilarikan kepada Allah. Ia harus merasa tentram dengan Allah dan tidak bersnadar kepada sesuatu apapun (bos, anak, istri atau suami, rumah, motor dsb.pen) Artinya seorang sufi tidak boleh bertumpu pada sesuau apapun, tidak boleh merasa tentram dengan sesuatu selain yang disembahnya. Selalu mendahulukan Allah diatas segal-galanya.


Begitulah sang Imam pengarah Ihya Ulumuddin ini membuka subbahasannya dengan mengetengahkan pentingnya kedudukan hati di dalam sebuah ibadah. Mari kita simak lagi kelanjutan tulisan beliau.

Menurut Imam, Tassawuf mengandung arti 'melemparkan jiwa' dalam kehambaan dan mengaitkan hati pada Ketuhanan. Lagi-lagi Imam berpesan dengan menterjemahkan makna tassawuf itu dengan kedekatan manusia dengan Allah via hatinya.

Sahl bin 'Abdullah berkata,"Seorang sufi adalah orang yang bersih dari kotoran, isi hatinya penuh dengan pikiran jernih, hingga baginya emas dan tanah sama saja."

Ada sebagian menyatakan bahwa tassawuf adalah membersihkan hati dari kedekatan dengan makhluk, menjauhi tabiat alam, memadamkan nafsu biologis, menolak dorongan nafsu, menempatkan sifat ruhaniah. bersandar pada ilmu-ilmu hakikat dan mengikuti Rosulullah saw dalam syariat.

Dari penjelasan Imam jelaslah bahwa tassawuf tidaklah mengenyampingkan syariat seperti yang dikabarkan. Manusia yang dekat dengan Allah dengan dzikir terus-menerus terlepas kewajibannya melaksanakan sujud dan rukuk. Semoga Allah melindungi kita dari pemikiran dan golongan sesat dan menyesatkan.

Seorang sufi adalah orang yang mengabdi kepada Tuhan dengan hati dan mengurus nafsunya dengan hati.

Allah berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi yang adil (QS. al-Maidah : 8)

Hal pokok dalam tassawuf adalah memakan makanan halal danmengikuti Rosulullah saw dalam hal akhlak, perbuatan, perintah-perintah dan kebiasaannya.Orang yang tidak menghafal Alquran dan tidak mencatat Hadits, ia tidak bisa mengikuti beliau,karena ilmu kita terkait dengan Alquran dan Sunnah. Ajaran ini didapat dengan sikap wara' dan takwa, bukan dengan klaim belaka.

Tassawuf awalnya adalah ilmu, tengah-tengahnya amal, dan ujungnya adalah anugerah. POsisi ilmu adalah menyingkapkan apa yang diinginkan, amal memperjelas apa yang dicarinya dan anugerah menyampaikan kepada sasaran yang diharapkan.

Tambahnya Imam lagi bahwa ahli tassawuf terdiri dari tiga tingkatan. Tingkatan pertama adalah seorang murid yang sedang mencari. Tingkat kedua, yakni tingkat menengah, adalah seorang penempuh jalan ruhani. Tingkat ketiga, terakhir adalah seorang yang telah sampai. Murid adalah orang yang mampu menguasai waktu. Tingkat menengah (mutawasith) adalah yang menguasai keadaan.Tingkat terakhir adalah pemilik keyakinan. Hal yang paling utama menurut tiga tingkatan para sufi adalah kesanggupan dalam menghitung tarikan nafas.

Begitulah sekelumit cuplikan tulisan Imam yang sangat runut. Imam al Ghazali mengenyampingkan sikap ego dalam menulis kitab-kitabnya dengan mengutip pendapat orang soleh lain. Beliau merinci tingkatan-tingkatan dan seluk beluk nya dengan peringatan-peringatan yang jelas dan rinci agar para murid dan pembaca dapat menilik dirinya. Wallahualam bissawab


*Penulis kahawatir ketika Allah dikatakan Allah yang satu. Maka akan membias menjadi Allah dapat dihitung.   Karena Allah hanyalah sebutan yang diberikan kepada manusia dan satu adalah manusia. "AHAD" (bahasa dalam Quran) lebih membuat makna dan penafsiran itu tetap pada porosnya. Wallahualam.


*Source: Terjemahan Raudhah Ath Thalibin wa Umdah as-Salikin, Imam al-Ghazali

Artikel Terkait:

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

PRAY TIME

Pemahaman Tassawuf oleh Imam Al-Ghazali

http://www.kikiyawe.web.com
Begitu banyak pengertian manurut bahasa dan sitilah akan sebuah kata. Banyak pula persengketaan perselisihan yang menyebabkan perpecahan pola pikir. Terang peringatan itu bahwa perbedaan adalah rahmat bagi manusia, begitulah sinyal yang diberikan Allah dalam lembaran-lembaran Quran. Dalam perkataan lain Allah memperingatkan manusia bahwa Ku ciptakan manusia dengan berbangsa, bersuku, keturuanan dari berbagai macam, namun mengarah kepada satu bapak yaitu Adam. Sungguh semua itu membuat sebuah perbedaan yang tetap membuat manusia harus terus belajar dan menganalisa tiap pola pikir dan tindak tanduk. 


Sebagian cendrung melihat sisi perbedaan dan sebagian lain melihatnya dengan sisi kebaikannya saja. Dan keduanya belumlah termasuk dalam golongan Rosulullah, dimana seorang muslim selalu menempatkan sebuah perbedaan dengan lapang dada (ditengah-tengah). Sungguh berbuat berlebih-lebihan mendatangkan mudharat bagi seorang muslim, begitulah seorang arif berpesan kepada anaknya suatu waktu.


Sengaja tulisan ini kami sajikan dengan pembukaan diatas, agar teranglah hati kita untuk melihat sesuatu bukan karena perbedaan kalimat, pemahaman, guru belajar, sekolah kita menimba ilmu atau apalah namanya. Semua perbedaan hanyalah cobaan bagi manusia untuk menikmati keindahan dan keagungan Allah semata.
Sungguh indah Allah memperingatkan manusia "La'allakum Tatafakkaruun". Berpikir dan teruslah berpikir akan dirimu, meneliti hati dan seluk beluknya. Begitulah ajaran sufi dikembangkan. Tentara jasad mengantarkan kepada yang zahir agar syariat menjadi sunnatullah, dan niat (di dalam hati) atau dengan bahasa lain "motifasi manusia terhadap "segala sesuatu" selayaknyalah tertuju pada yang Ahad*, Yang Maha Kebenarannya. Semoga kita dimasukkan Allah kedalam golongan yang melihatnya nanti. Amin.


Seorang sufi baru dianggap sufi jika kefakiran merupakan jubahnya, sabar merupakan pakaiannya, ridha merupakan kendaraannya dan tawakkal merupakan tingkah lakunya. Selain itu, hanya Allah lah sandarannya.


Seorang sufi selalu menggunakan anggota badannya untuk melakukan ketaatan, mengendalikan syahwat, zuhud terhadap dunia sangat sangat selektif terhadap keinginan-keinginan nafsu.


Seorang sufi sama sekali tidak boleh mencintai dunia (kalau mencintai dunia artinya bukan sufi. pen). Jika terpaksa harus mengambil dunia, ia tidak boleh melebihi kebutuhannya. Seorang sufi harus betul-betul bersih dari kotoran hati sebagai langkah mencintai Allah, menemui Nya dan menyerahkan segala-galanya kepada Nya.


Hati seorang sufi sepenuhnya harus dilarikan kepada Allah. Ia harus merasa tentram dengan Allah dan tidak bersnadar kepada sesuatu apapun (bos, anak, istri atau suami, rumah, motor dsb.pen) Artinya seorang sufi tidak boleh bertumpu pada sesuau apapun, tidak boleh merasa tentram dengan sesuatu selain yang disembahnya. Selalu mendahulukan Allah diatas segal-galanya.


Begitulah sang Imam pengarah Ihya Ulumuddin ini membuka subbahasannya dengan mengetengahkan pentingnya kedudukan hati di dalam sebuah ibadah. Mari kita simak lagi kelanjutan tulisan beliau.

Menurut Imam, Tassawuf mengandung arti 'melemparkan jiwa' dalam kehambaan dan mengaitkan hati pada Ketuhanan. Lagi-lagi Imam berpesan dengan menterjemahkan makna tassawuf itu dengan kedekatan manusia dengan Allah via hatinya.

Sahl bin 'Abdullah berkata,"Seorang sufi adalah orang yang bersih dari kotoran, isi hatinya penuh dengan pikiran jernih, hingga baginya emas dan tanah sama saja."

Ada sebagian menyatakan bahwa tassawuf adalah membersihkan hati dari kedekatan dengan makhluk, menjauhi tabiat alam, memadamkan nafsu biologis, menolak dorongan nafsu, menempatkan sifat ruhaniah. bersandar pada ilmu-ilmu hakikat dan mengikuti Rosulullah saw dalam syariat.

Dari penjelasan Imam jelaslah bahwa tassawuf tidaklah mengenyampingkan syariat seperti yang dikabarkan. Manusia yang dekat dengan Allah dengan dzikir terus-menerus terlepas kewajibannya melaksanakan sujud dan rukuk. Semoga Allah melindungi kita dari pemikiran dan golongan sesat dan menyesatkan.

Seorang sufi adalah orang yang mengabdi kepada Tuhan dengan hati dan mengurus nafsunya dengan hati.

Allah berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi yang adil (QS. al-Maidah : 8)

Hal pokok dalam tassawuf adalah memakan makanan halal danmengikuti Rosulullah saw dalam hal akhlak, perbuatan, perintah-perintah dan kebiasaannya.Orang yang tidak menghafal Alquran dan tidak mencatat Hadits, ia tidak bisa mengikuti beliau,karena ilmu kita terkait dengan Alquran dan Sunnah. Ajaran ini didapat dengan sikap wara' dan takwa, bukan dengan klaim belaka.

Tassawuf awalnya adalah ilmu, tengah-tengahnya amal, dan ujungnya adalah anugerah. POsisi ilmu adalah menyingkapkan apa yang diinginkan, amal memperjelas apa yang dicarinya dan anugerah menyampaikan kepada sasaran yang diharapkan.

Tambahnya Imam lagi bahwa ahli tassawuf terdiri dari tiga tingkatan. Tingkatan pertama adalah seorang murid yang sedang mencari. Tingkat kedua, yakni tingkat menengah, adalah seorang penempuh jalan ruhani. Tingkat ketiga, terakhir adalah seorang yang telah sampai. Murid adalah orang yang mampu menguasai waktu. Tingkat menengah (mutawasith) adalah yang menguasai keadaan.Tingkat terakhir adalah pemilik keyakinan. Hal yang paling utama menurut tiga tingkatan para sufi adalah kesanggupan dalam menghitung tarikan nafas.

Begitulah sekelumit cuplikan tulisan Imam yang sangat runut. Imam al Ghazali mengenyampingkan sikap ego dalam menulis kitab-kitabnya dengan mengutip pendapat orang soleh lain. Beliau merinci tingkatan-tingkatan dan seluk beluk nya dengan peringatan-peringatan yang jelas dan rinci agar para murid dan pembaca dapat menilik dirinya. Wallahualam bissawab


*Penulis kahawatir ketika Allah dikatakan Allah yang satu. Maka akan membias menjadi Allah dapat dihitung.   Karena Allah hanyalah sebutan yang diberikan kepada manusia dan satu adalah manusia. "AHAD" (bahasa dalam Quran) lebih membuat makna dan penafsiran itu tetap pada porosnya. Wallahualam.


*Source: Terjemahan Raudhah Ath Thalibin wa Umdah as-Salikin, Imam al-Ghazali

0 comments:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Affiliate Network Reviews