Selamat Membaca dan Jangan Lupa Isikan Komentar Anda Ya.....
Barangsiapa belajar ilmu figh tanpa belajar tassawuf maka ia adalah fasiq. Siapa saja yang belajar Ilmu Tassawuf tanpa belajar Ilmu Figh maka ia adalah Zindiq, dan siapa saja yang mengumpulkan keduanya, maka ia adalah ahli Hakikat (Syeikh Al Fasi, Qawaid Al-Tasawwuf)

Thursday 16 May 2013

Kata ’Allah” di Malaysia dan Indonesia



Dr. Adian Husaini



Ceritasufi - Awal 2013, suhu keagamaan di Malaysia dihangatkan lagi dengan kasus penggunaan kata Allah, oleh kaum Kristen. Sultan Negeri Selangor, Sharafuddin Idris Shah, mengeluarkan dekrit yang menegaskan, bahwa kata Allah merupakan kata suci khusus umat muslim dan tidak boleh digunakan oleh agama selain Islam di Selangor. Dekrit ini bukan baru. Tahun 1998, Negeri Selangor sudah menetapkan undang-undang yang melarang penggunaan kata Allah oleh non-Muslim.


Dekrit Sultan Selangor itu mengangkat kembali kontroversi penggunaan kata Allah di Malaysia yang sudah muncul sejak awal 1980-an dan kemudian merebak tahun 2007.
Kasus ini bermula saat pihak Katolik menolak larangan penggunaan kata Allah oleh pemerintah Malaysia. Mereka membawa kasus ini ke pengadilan. Pada 21 Desember 2009, Mahkamah Tinggi Kuala Lumpur membenarkan penggunaan kata ''Allah'', sebagai pengganti kata Tuhan oleh  media Katholik Herald-The Catholic Weekly. Akan tetapi, pemerintah Malaysia  berkeberatan dengan keputusan tersebut dan mengajukan Banding ke peradilan yang lebih tinggi.

Media Katolik Herald edisi bahasa Inggris memang tidak menggunakan kata Allah. Tapi, kata Allah mereka gunakan untuk edisi bahasa Melayu. Karena itulah, kaum Muslim di Malaysia melihat, ini salah satu indikasi jelas, bahwa ada tujuan ”misi Kristen” dibalik penggunaan kata Allah tersebut.  Tapi, kaum Katolik di Malaysia berkeberatan dengan larangan pemerintah atas penggunaan kata "Allah" di media mereka. Logika yang sering dimunculkan: mengapa di Arab dan Indonesia boleh, tetapi di Malaysia tidak boleh?

Di Indonesia

Beda dengan Malaysia, di Indonesia, gugatan terhadap penggunaan kata ’Allah’ oleh kaum Kristen, justru datang dari kalangan Kristen sendiri.  Tahun 1999, muncul kelompok Kristen bernama ”Iman Taqwa Kepada Shirathal Mustaqim”  yang menyerukan penghentian penggunaan kata ’Allah’ oleh kaum Kristen. Setelah mengganti nama menjadi Bet Yesua Hamasiah (BYH), kelompok ini menerbitkan Bibel sendiri dengan nama ”Kitab Suci Torat dan Injil”. Belakangan, terbit juga Bibel tanpa kata Allah, bernamaKitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru – Indonesian Literal Translation (ILT)”, terbitan Yayasan Lentera Bangsa, Jakarta, 2008.

 

Bibel versi BYH mengganti kata "Allah" menjadi "Eloim", kata "TUHAN" diganti menjadi "YAHWE"; kata "Yesus" diganti dengan "Yesua", dan "Yesus Kristus" diubah menjadi "Yesua Hamasiah". Berikutnya, muncul lagi kelompok Kristen yang menamakan dirinya "Jaringan Gereja-gereja Pengagung Nama Yahweh" yang menerbitkan Bibel sendiri dengan nama "Kitab Suci Umat Perjanjian Tuhan ini".  Kelompok ini pun menegaskan, "Akhirnya nama "Allah" tidak dapat dipertahankan lagi." 

BYH mengedarkan brosur berjudul ”Siapakah Yang Bernama Allah Itu?” yang isinya mengecam penggunaan kata Allah oleh kaum Kristen. Mereka menyebut penggunaan kata ”Allah” dalam Kristen sebagai satu bentuk penghujatan kepada Tuhan.  Mereka membuat seruan: ”Stop! Stop! Stu-u-op! Jangan diteruskan hujatan Anda. Kalau Anda semula tidak tahu, pasti akan diampuni, tetapi sekarang melalui pembacaan traktat pelayanan ini, Anda menjadi tahu. Maka jangan diterus-teruskan! (Dikutip dari buku Herlianto, Siapakah yang  Bernama Allah Itu? (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 2005, cetakan ke-3, hal. 4).

Bermaksud meredam kontroversi, Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) -- sebagai lembaga resmi penerjemah Bibel edisi bahasa Indonesia – membuat edaran. Isinya, kaum Kristen di wilayah Nusantara sudah menggunakan kata ’Allah’ sejak terbitan pertama Injil Matius dalam bahasa Melayu  (terjemahan Albert Cornelis Ruyl, 1692).

Penjelasan LAI, tertanggal 21 Januari 1999, ditandantangani oleh Sekretaris Umumnya, Supardan. Surat LAI ini penulis kutip dari buku Waspadalah terhadap Sekte Baru, Sekte Pengagung Yahweh,  karya Pdt. A.H. Parhusip.  Sang pendeta tampaknya sangat geram terhadap sekte ini, sehingga menulis: ”Saya tahu kebusukan dan kejahatan Pengagung YAHWEH, yakni: Hanya untuk menghilangkan sebutan ”Allah” dari Alkitab, maka dibuatlah ’Kitab Suci’ yaitu Alkitab palsu yang di dalamnya sebutan ”Tuhan YAHWEH” (=Tuhan TUHAN) begitu mubazir. Bodoh! Untuk itulah saya serukan: Kalau mau bodoh, bodohlah; tetapi jangan terlalu bodohlah kawan!”  

Meskipun LAI sudah mengeluarkan edaran resmi, para penggugat nama Allah dalam Kristen masih muncul.  Tahun  2009, terbit lagi buku berjudul “Allah” dalam Kekristenan, Apakah Salah, karya Rev. Yakub Sulistyo, S.Th., M.A., (2009). Buku ini menyerukan: “Kamus Theologia Kristen sendiri sudah sangat jelas menulis bahwa: Allah itu berasal dari Arab yang artinya Keberadaan Tertinggi dalam agama Islam, jadi kalau Anda sebagai orang Kristen atau Katolik (Nasrani) yang baik, Anda seharusnya menghormati iman orang lain (umat Islam), dengan tidak mencampur-adukkan dengan iman Nasrani, sehingga menjadi Sinkretisme. (hal. 43).

Akar masalah

Mengapa kaum Kristen di wilayah Melayu-Indonesia menggunakan kata ’Allah’  untuk menyebut nama Tuhan mereka?  Padahal, Kristen yang datang ke wilayah ini berasal dari Kristen Barat, yang tidak mengenal kata ’Allah’? Alasannya, seperti disebut Samin Sitohang dalam buku Siapakah Nama Sang Pencipta? Menjawab Kontroversi Sekitar Pemakaian Nama Allah dalam Alkitab, adalah “pertimbangan misiologis”.

“Jadi, jika Alkitab bahasa Indonesia menggunakan Allah untuk nama Sang Pencipta, itu berarti Roh Allah sedang menyiapkan umat-Nya yang berasal dari golongan lain untuk menerima Injil karena mereka tidak perlu harus membuang Allah untuk mendapatkan nama Sang Pencipta yang baru.” (hal. 100-101).   

Kontroversi nama Tuhan dalam Kristen berakar dari ketiadaan konsep nama Tuhan yang baku dalam Kristen. Di Barat, Tuhan Kristen disebut ’God’ atau ’Lord’. Di Bali, kaum Hindu memprotes penggunaan nama Tuhan oleh kaum Kristen yang dimiripkan dengan sebutan Tuhan dalam agama Hindu, seperti ”Sang Hyang Yesus”, ”Sang Hyang Allah Aji”, “Ratu Biang Maria,” dan sebagainya.” (Majalah Media Hindu, edisi November 2011). Di Arab, sebelum Islam, kata ‘Allah’ sudah digunakan dengan makna Tuhan versi Kristen dan Tuhan yang punya sekutu (syirik).

Problem ketiadaan konsep baku dalam nama Tuhan Kristen itu berakar dari tradisi Yudaisme yang tidak menyebut nama Tuhan. Oxford Concise Dictionary of World Religions menulis: “Yahweh: The God of Judaism as the ‘tetragrammaton YHWH’, may have been pronounced. By orthodox and many other Jews, God’s name is never articulated, least of all in the Jewish liturgy.” Lihat, John Bowker (ed), The Concise Oxford Dictionary of World Religions, (Oxford University Press, 2000).

Seorang pakar agama Yahudi, Dr. D. L. Baker, menulis, bahwa: "Kata nama yang paling penting dalam PL (Perjanjian Lama. Pen.) ialah  יהוה (yhwh), nama Allah Israel, yang ditemukan kurang lebih 6823 kali dalam PL. Nama tsb mungkin dulu diucapkan “Yahweh”, tetapi menurut tradisi Yahudi , nama yang Mahasuci itu tidak boleh diucapkan untuk menghindari kemungkinan pelanggaran perintah ketiga (“Jangan menyebut nama יהוה, Allahmu, dengan sembarangan…” (Kel, 20:7). (D.L. Baker et.al,   Pengantar Bahasa Ibrani,   (Jakarta: BPK, 2004), hal. 52.

Jadi, ucapan “Yahweh” sebagaimana diucapkan sebagian kalangan Yahudi dan Kristen saat ini adalah sebuah bacaan yang bersifat spekulatif terhadap empat huruf mati YHWH.  Harold Bloom, menulis, bahwa YHWH adalah nama Tuhan Israel yang tidak pernah bisa diketahui pengucapannya: “The four-letter YHWH is God’s proper name in the Hebrew Bible, where it appears some six thousand times. How the name was pronounced we never will know.” (Harold Bloom, Jesus and Yahweh, (New York: Berkley Publishing Groups, 2005).

Karena itulah, menurut Pdt. Parhusip kaum Kristen boleh menyebut  nama Tuhan sesuai dengan apa yang terbersit dalam hati mereka. Ia menulis dalam buku kecilnya:  ”Lalu mungkin  ada yang bertanya: Siapakah Pencipta itu dan bagaimanakah kalau kita mau memanggil Pencipta itu? Jawabnya: Terserah pada Anda! Mau panggil; Pencipta! Boleh! Mau panggil: Perkasa! Silahkan! Mau panggil: Debata! Boleh! Mau panggil: Allah! Boleh! Mau panggil: Elohim atau Theos atau God atau Lowalangi atau Tetemanis...! Silakan! Mau memanggil bagaimana saja boleh, asalkan tujuannya memanggil Sang Pencipta, yang menciptakan langit dan bumi... Ya, silakan menyebut dan memanggil Sang Pencipta itu menurut apa yang ditaruh oleh Pencipta itu di dalam hati Anda, di dalam hati kita masing-masing.”

Jadi, apa kaum Kristen di wilayah Nusantara sebaiknya masih menggunakan kata Allah?  Patut direnungkan, bahwa kaum Muslim telah resmi menjadikan Allah sebagai nama Tuhan – bukan sekedar sebutan – sejak al-Quran melakukan Islamisasi konsep ’Allah’ versi kaum musyrik  Quraisy dan versi kaum Kristen Arab pra-Islam. Beda dengan kaum Kristen, bagi Muslim, ’Allah’ adalah nama Tuhan yang Maha Esa, dan menjadi kata terpenting dalam Islam.  Sementara itu, sebagaimana di negara-negara Barat, Bali, dan daerah lainnya, kaum Kristen juga terbiasa menyebut Tuhan tanpa menggunakan kata ’Allah’.

Di wilayah Melayu-Indonesia, sebelum datangnya Kristen, kata ’Allah’ hanya punya satu makna: Tuhannya orang Muslim, yang tidak punya sekutu, tidak beranak dan tidak diperanakkan. Barulah pada tahun 1692 (data versi LAI), kaum Kristen menggunakan kata Allah untuk  tujuan misi. Maka, dalam hal ini, saling pengertian sangat diharapkan.  Wallahu A’lam bish-shawab

Artikel Terkait:

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

PRAY TIME

Kata ’Allah” di Malaysia dan Indonesia



Dr. Adian Husaini



Ceritasufi - Awal 2013, suhu keagamaan di Malaysia dihangatkan lagi dengan kasus penggunaan kata Allah, oleh kaum Kristen. Sultan Negeri Selangor, Sharafuddin Idris Shah, mengeluarkan dekrit yang menegaskan, bahwa kata Allah merupakan kata suci khusus umat muslim dan tidak boleh digunakan oleh agama selain Islam di Selangor. Dekrit ini bukan baru. Tahun 1998, Negeri Selangor sudah menetapkan undang-undang yang melarang penggunaan kata Allah oleh non-Muslim.


Dekrit Sultan Selangor itu mengangkat kembali kontroversi penggunaan kata Allah di Malaysia yang sudah muncul sejak awal 1980-an dan kemudian merebak tahun 2007.
Kasus ini bermula saat pihak Katolik menolak larangan penggunaan kata Allah oleh pemerintah Malaysia. Mereka membawa kasus ini ke pengadilan. Pada 21 Desember 2009, Mahkamah Tinggi Kuala Lumpur membenarkan penggunaan kata ''Allah'', sebagai pengganti kata Tuhan oleh  media Katholik Herald-The Catholic Weekly. Akan tetapi, pemerintah Malaysia  berkeberatan dengan keputusan tersebut dan mengajukan Banding ke peradilan yang lebih tinggi.

Media Katolik Herald edisi bahasa Inggris memang tidak menggunakan kata Allah. Tapi, kata Allah mereka gunakan untuk edisi bahasa Melayu. Karena itulah, kaum Muslim di Malaysia melihat, ini salah satu indikasi jelas, bahwa ada tujuan ”misi Kristen” dibalik penggunaan kata Allah tersebut.  Tapi, kaum Katolik di Malaysia berkeberatan dengan larangan pemerintah atas penggunaan kata "Allah" di media mereka. Logika yang sering dimunculkan: mengapa di Arab dan Indonesia boleh, tetapi di Malaysia tidak boleh?

Di Indonesia

Beda dengan Malaysia, di Indonesia, gugatan terhadap penggunaan kata ’Allah’ oleh kaum Kristen, justru datang dari kalangan Kristen sendiri.  Tahun 1999, muncul kelompok Kristen bernama ”Iman Taqwa Kepada Shirathal Mustaqim”  yang menyerukan penghentian penggunaan kata ’Allah’ oleh kaum Kristen. Setelah mengganti nama menjadi Bet Yesua Hamasiah (BYH), kelompok ini menerbitkan Bibel sendiri dengan nama ”Kitab Suci Torat dan Injil”. Belakangan, terbit juga Bibel tanpa kata Allah, bernamaKitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru – Indonesian Literal Translation (ILT)”, terbitan Yayasan Lentera Bangsa, Jakarta, 2008.

 

Bibel versi BYH mengganti kata "Allah" menjadi "Eloim", kata "TUHAN" diganti menjadi "YAHWE"; kata "Yesus" diganti dengan "Yesua", dan "Yesus Kristus" diubah menjadi "Yesua Hamasiah". Berikutnya, muncul lagi kelompok Kristen yang menamakan dirinya "Jaringan Gereja-gereja Pengagung Nama Yahweh" yang menerbitkan Bibel sendiri dengan nama "Kitab Suci Umat Perjanjian Tuhan ini".  Kelompok ini pun menegaskan, "Akhirnya nama "Allah" tidak dapat dipertahankan lagi." 

BYH mengedarkan brosur berjudul ”Siapakah Yang Bernama Allah Itu?” yang isinya mengecam penggunaan kata Allah oleh kaum Kristen. Mereka menyebut penggunaan kata ”Allah” dalam Kristen sebagai satu bentuk penghujatan kepada Tuhan.  Mereka membuat seruan: ”Stop! Stop! Stu-u-op! Jangan diteruskan hujatan Anda. Kalau Anda semula tidak tahu, pasti akan diampuni, tetapi sekarang melalui pembacaan traktat pelayanan ini, Anda menjadi tahu. Maka jangan diterus-teruskan! (Dikutip dari buku Herlianto, Siapakah yang  Bernama Allah Itu? (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 2005, cetakan ke-3, hal. 4).

Bermaksud meredam kontroversi, Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) -- sebagai lembaga resmi penerjemah Bibel edisi bahasa Indonesia – membuat edaran. Isinya, kaum Kristen di wilayah Nusantara sudah menggunakan kata ’Allah’ sejak terbitan pertama Injil Matius dalam bahasa Melayu  (terjemahan Albert Cornelis Ruyl, 1692).

Penjelasan LAI, tertanggal 21 Januari 1999, ditandantangani oleh Sekretaris Umumnya, Supardan. Surat LAI ini penulis kutip dari buku Waspadalah terhadap Sekte Baru, Sekte Pengagung Yahweh,  karya Pdt. A.H. Parhusip.  Sang pendeta tampaknya sangat geram terhadap sekte ini, sehingga menulis: ”Saya tahu kebusukan dan kejahatan Pengagung YAHWEH, yakni: Hanya untuk menghilangkan sebutan ”Allah” dari Alkitab, maka dibuatlah ’Kitab Suci’ yaitu Alkitab palsu yang di dalamnya sebutan ”Tuhan YAHWEH” (=Tuhan TUHAN) begitu mubazir. Bodoh! Untuk itulah saya serukan: Kalau mau bodoh, bodohlah; tetapi jangan terlalu bodohlah kawan!”  

Meskipun LAI sudah mengeluarkan edaran resmi, para penggugat nama Allah dalam Kristen masih muncul.  Tahun  2009, terbit lagi buku berjudul “Allah” dalam Kekristenan, Apakah Salah, karya Rev. Yakub Sulistyo, S.Th., M.A., (2009). Buku ini menyerukan: “Kamus Theologia Kristen sendiri sudah sangat jelas menulis bahwa: Allah itu berasal dari Arab yang artinya Keberadaan Tertinggi dalam agama Islam, jadi kalau Anda sebagai orang Kristen atau Katolik (Nasrani) yang baik, Anda seharusnya menghormati iman orang lain (umat Islam), dengan tidak mencampur-adukkan dengan iman Nasrani, sehingga menjadi Sinkretisme. (hal. 43).

Akar masalah

Mengapa kaum Kristen di wilayah Melayu-Indonesia menggunakan kata ’Allah’  untuk menyebut nama Tuhan mereka?  Padahal, Kristen yang datang ke wilayah ini berasal dari Kristen Barat, yang tidak mengenal kata ’Allah’? Alasannya, seperti disebut Samin Sitohang dalam buku Siapakah Nama Sang Pencipta? Menjawab Kontroversi Sekitar Pemakaian Nama Allah dalam Alkitab, adalah “pertimbangan misiologis”.

“Jadi, jika Alkitab bahasa Indonesia menggunakan Allah untuk nama Sang Pencipta, itu berarti Roh Allah sedang menyiapkan umat-Nya yang berasal dari golongan lain untuk menerima Injil karena mereka tidak perlu harus membuang Allah untuk mendapatkan nama Sang Pencipta yang baru.” (hal. 100-101).   

Kontroversi nama Tuhan dalam Kristen berakar dari ketiadaan konsep nama Tuhan yang baku dalam Kristen. Di Barat, Tuhan Kristen disebut ’God’ atau ’Lord’. Di Bali, kaum Hindu memprotes penggunaan nama Tuhan oleh kaum Kristen yang dimiripkan dengan sebutan Tuhan dalam agama Hindu, seperti ”Sang Hyang Yesus”, ”Sang Hyang Allah Aji”, “Ratu Biang Maria,” dan sebagainya.” (Majalah Media Hindu, edisi November 2011). Di Arab, sebelum Islam, kata ‘Allah’ sudah digunakan dengan makna Tuhan versi Kristen dan Tuhan yang punya sekutu (syirik).

Problem ketiadaan konsep baku dalam nama Tuhan Kristen itu berakar dari tradisi Yudaisme yang tidak menyebut nama Tuhan. Oxford Concise Dictionary of World Religions menulis: “Yahweh: The God of Judaism as the ‘tetragrammaton YHWH’, may have been pronounced. By orthodox and many other Jews, God’s name is never articulated, least of all in the Jewish liturgy.” Lihat, John Bowker (ed), The Concise Oxford Dictionary of World Religions, (Oxford University Press, 2000).

Seorang pakar agama Yahudi, Dr. D. L. Baker, menulis, bahwa: "Kata nama yang paling penting dalam PL (Perjanjian Lama. Pen.) ialah  יהוה (yhwh), nama Allah Israel, yang ditemukan kurang lebih 6823 kali dalam PL. Nama tsb mungkin dulu diucapkan “Yahweh”, tetapi menurut tradisi Yahudi , nama yang Mahasuci itu tidak boleh diucapkan untuk menghindari kemungkinan pelanggaran perintah ketiga (“Jangan menyebut nama יהוה, Allahmu, dengan sembarangan…” (Kel, 20:7). (D.L. Baker et.al,   Pengantar Bahasa Ibrani,   (Jakarta: BPK, 2004), hal. 52.

Jadi, ucapan “Yahweh” sebagaimana diucapkan sebagian kalangan Yahudi dan Kristen saat ini adalah sebuah bacaan yang bersifat spekulatif terhadap empat huruf mati YHWH.  Harold Bloom, menulis, bahwa YHWH adalah nama Tuhan Israel yang tidak pernah bisa diketahui pengucapannya: “The four-letter YHWH is God’s proper name in the Hebrew Bible, where it appears some six thousand times. How the name was pronounced we never will know.” (Harold Bloom, Jesus and Yahweh, (New York: Berkley Publishing Groups, 2005).

Karena itulah, menurut Pdt. Parhusip kaum Kristen boleh menyebut  nama Tuhan sesuai dengan apa yang terbersit dalam hati mereka. Ia menulis dalam buku kecilnya:  ”Lalu mungkin  ada yang bertanya: Siapakah Pencipta itu dan bagaimanakah kalau kita mau memanggil Pencipta itu? Jawabnya: Terserah pada Anda! Mau panggil; Pencipta! Boleh! Mau panggil: Perkasa! Silahkan! Mau panggil: Debata! Boleh! Mau panggil: Allah! Boleh! Mau panggil: Elohim atau Theos atau God atau Lowalangi atau Tetemanis...! Silakan! Mau memanggil bagaimana saja boleh, asalkan tujuannya memanggil Sang Pencipta, yang menciptakan langit dan bumi... Ya, silakan menyebut dan memanggil Sang Pencipta itu menurut apa yang ditaruh oleh Pencipta itu di dalam hati Anda, di dalam hati kita masing-masing.”

Jadi, apa kaum Kristen di wilayah Nusantara sebaiknya masih menggunakan kata Allah?  Patut direnungkan, bahwa kaum Muslim telah resmi menjadikan Allah sebagai nama Tuhan – bukan sekedar sebutan – sejak al-Quran melakukan Islamisasi konsep ’Allah’ versi kaum musyrik  Quraisy dan versi kaum Kristen Arab pra-Islam. Beda dengan kaum Kristen, bagi Muslim, ’Allah’ adalah nama Tuhan yang Maha Esa, dan menjadi kata terpenting dalam Islam.  Sementara itu, sebagaimana di negara-negara Barat, Bali, dan daerah lainnya, kaum Kristen juga terbiasa menyebut Tuhan tanpa menggunakan kata ’Allah’.

Di wilayah Melayu-Indonesia, sebelum datangnya Kristen, kata ’Allah’ hanya punya satu makna: Tuhannya orang Muslim, yang tidak punya sekutu, tidak beranak dan tidak diperanakkan. Barulah pada tahun 1692 (data versi LAI), kaum Kristen menggunakan kata Allah untuk  tujuan misi. Maka, dalam hal ini, saling pengertian sangat diharapkan.  Wallahu A’lam bish-shawab

0 comments:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Affiliate Network Reviews