Dr. Adian Husaini |
Ceritasufi - Awal 2013, suhu keagamaan di
Malaysia dihangatkan lagi dengan kasus penggunaan kata Allah, oleh kaum
Kristen. Sultan Negeri Selangor, Sharafuddin Idris Shah, mengeluarkan dekrit
yang menegaskan, bahwa kata Allah merupakan kata suci khusus umat muslim dan
tidak boleh digunakan oleh agama selain Islam di Selangor. Dekrit ini bukan
baru. Tahun 1998, Negeri Selangor sudah menetapkan undang-undang yang melarang
penggunaan kata Allah oleh non-Muslim.
Dekrit Sultan Selangor itu
mengangkat kembali kontroversi penggunaan kata Allah di Malaysia yang sudah
muncul sejak awal 1980-an dan kemudian merebak tahun 2007.
Media Katolik Herald edisi
bahasa Inggris memang tidak menggunakan kata Allah. Tapi, kata Allah mereka
gunakan untuk edisi bahasa Melayu. Karena itulah, kaum Muslim di Malaysia
melihat, ini salah satu indikasi jelas, bahwa ada tujuan ”misi Kristen” dibalik
penggunaan kata Allah tersebut. Tapi, kaum Katolik di Malaysia
berkeberatan dengan larangan pemerintah atas penggunaan kata "Allah"
di media mereka. Logika yang sering dimunculkan: mengapa di Arab dan Indonesia
boleh, tetapi di Malaysia tidak boleh?
Di Indonesia
Beda
dengan Malaysia, di Indonesia, gugatan terhadap penggunaan kata ’Allah’ oleh
kaum Kristen, justru datang dari kalangan Kristen sendiri. Tahun 1999,
muncul kelompok Kristen bernama ”Iman Taqwa Kepada Shirathal Mustaqim” yang
menyerukan penghentian penggunaan kata ’Allah’ oleh kaum Kristen. Setelah
mengganti nama menjadi Bet Yesua Hamasiah (BYH), kelompok ini menerbitkan Bibel
sendiri dengan nama ”Kitab Suci Torat dan Injil”. Belakangan,
terbit juga Bibel tanpa kata Allah, bernama ”Kitab Suci Perjanjian
Lama dan Perjanjian Baru – Indonesian Literal Translation (ILT)”, terbitan Yayasan
Lentera Bangsa, Jakarta, 2008.
Bibel versi BYH mengganti kata
"Allah" menjadi "Eloim", kata "TUHAN" diganti
menjadi "YAHWE"; kata "Yesus" diganti dengan
"Yesua", dan "Yesus Kristus" diubah menjadi "Yesua
Hamasiah". Berikutnya, muncul lagi kelompok Kristen yang menamakan dirinya
"Jaringan Gereja-gereja Pengagung Nama Yahweh" yang menerbitkan Bibel
sendiri dengan nama "Kitab Suci Umat Perjanjian Tuhan ini". Kelompok
ini pun menegaskan, "Akhirnya nama "Allah" tidak dapat
dipertahankan lagi."
BYH mengedarkan brosur berjudul ”Siapakah
Yang Bernama Allah Itu?” yang isinya mengecam penggunaan kata Allah oleh
kaum Kristen. Mereka menyebut penggunaan kata ”Allah” dalam Kristen sebagai
satu bentuk penghujatan kepada Tuhan. Mereka membuat seruan: ”Stop!
Stop! Stu-u-op! Jangan diteruskan hujatan Anda. Kalau Anda semula tidak tahu,
pasti akan diampuni, tetapi sekarang melalui pembacaan traktat pelayanan ini,
Anda menjadi tahu. Maka jangan diterus-teruskan! (Dikutip dari buku
Herlianto, Siapakah yang Bernama Allah Itu? (Jakarta: Badan
Penerbit Kristen, 2005, cetakan ke-3, hal. 4).
Bermaksud meredam kontroversi,
Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) -- sebagai lembaga resmi penerjemah Bibel edisi
bahasa Indonesia – membuat edaran. Isinya, kaum Kristen di wilayah Nusantara
sudah menggunakan kata ’Allah’ sejak terbitan pertama Injil Matius dalam bahasa
Melayu (terjemahan Albert Cornelis Ruyl, 1692).
Penjelasan LAI, tertanggal 21 Januari
1999, ditandantangani oleh Sekretaris Umumnya, Supardan. Surat LAI ini penulis
kutip dari buku Waspadalah terhadap Sekte Baru, Sekte Pengagung Yahweh,
karya Pdt. A.H. Parhusip. Sang pendeta tampaknya sangat geram terhadap
sekte ini, sehingga menulis: ”Saya tahu kebusukan dan kejahatan Pengagung
YAHWEH, yakni: Hanya untuk menghilangkan sebutan ”Allah” dari Alkitab, maka
dibuatlah ’Kitab Suci’ yaitu Alkitab palsu yang di dalamnya sebutan ”Tuhan
YAHWEH” (=Tuhan TUHAN) begitu mubazir. Bodoh! Untuk itulah saya serukan: Kalau
mau bodoh, bodohlah; tetapi jangan terlalu bodohlah kawan!”
Meskipun LAI sudah mengeluarkan
edaran resmi, para penggugat nama Allah dalam Kristen masih muncul.
Tahun 2009, terbit lagi buku berjudul “Allah” dalam Kekristenan,
Apakah Salah, karya Rev. Yakub Sulistyo, S.Th., M.A., (2009). Buku ini
menyerukan: “Kamus Theologia Kristen sendiri sudah sangat jelas menulis
bahwa: Allah itu berasal dari Arab yang artinya Keberadaan Tertinggi dalam
agama Islam, jadi kalau Anda sebagai orang Kristen atau Katolik (Nasrani) yang
baik, Anda seharusnya menghormati iman orang lain (umat Islam), dengan tidak
mencampur-adukkan dengan iman Nasrani, sehingga menjadi Sinkretisme. (hal.
43).
Akar masalah
Mengapa kaum Kristen di wilayah
Melayu-Indonesia menggunakan kata ’Allah’ untuk menyebut nama
Tuhan mereka? Padahal, Kristen yang datang ke wilayah ini berasal dari
Kristen Barat, yang tidak mengenal kata ’Allah’? Alasannya, seperti disebut
Samin Sitohang dalam buku Siapakah Nama Sang Pencipta? Menjawab Kontroversi
Sekitar Pemakaian Nama Allah dalam Alkitab, adalah “pertimbangan
misiologis”.
“Jadi, jika Alkitab bahasa Indonesia
menggunakan Allah untuk nama Sang Pencipta, itu berarti Roh Allah sedang
menyiapkan umat-Nya yang berasal dari golongan lain untuk menerima Injil karena
mereka tidak perlu harus membuang Allah untuk mendapatkan nama Sang Pencipta
yang baru.” (hal. 100-101).
Kontroversi nama Tuhan dalam Kristen
berakar dari ketiadaan konsep nama Tuhan yang baku dalam Kristen. Di Barat,
Tuhan Kristen disebut ’God’ atau ’Lord’. Di Bali, kaum Hindu memprotes
penggunaan nama Tuhan oleh kaum Kristen yang dimiripkan dengan sebutan Tuhan
dalam agama Hindu, seperti ”Sang Hyang Yesus”, ”Sang Hyang Allah Aji”, “Ratu
Biang Maria,” dan sebagainya.” (Majalah Media Hindu, edisi November
2011). Di Arab, sebelum Islam, kata ‘Allah’ sudah digunakan dengan makna Tuhan
versi Kristen dan Tuhan yang punya sekutu (syirik).
Problem ketiadaan konsep baku dalam
nama Tuhan Kristen itu berakar dari tradisi Yudaisme yang tidak menyebut nama
Tuhan. Oxford Concise Dictionary of World Religions menulis: “Yahweh:
The God of Judaism as the ‘tetragrammaton YHWH’, may have been pronounced. By
orthodox and many other Jews, God’s name is never articulated, least of all in
the Jewish liturgy.” Lihat, John Bowker (ed), The Concise Oxford
Dictionary of World Religions, (Oxford University Press, 2000).
Seorang pakar agama Yahudi, Dr. D.
L. Baker, menulis, bahwa: "Kata nama yang paling penting dalam PL
(Perjanjian Lama. Pen.) ialah יהוה (yhwh), nama Allah Israel, yang
ditemukan kurang lebih 6823 kali dalam PL. Nama tsb mungkin dulu diucapkan
“Yahweh”, tetapi menurut tradisi Yahudi , nama yang Mahasuci itu tidak
boleh diucapkan untuk menghindari kemungkinan pelanggaran perintah ketiga
(“Jangan menyebut nama יהוה, Allahmu, dengan sembarangan…” (Kel,
20:7). (D.L. Baker et.al, Pengantar Bahasa Ibrani,
(Jakarta: BPK, 2004), hal. 52.
Jadi, ucapan “Yahweh” sebagaimana
diucapkan sebagian kalangan Yahudi dan Kristen saat ini adalah sebuah bacaan
yang bersifat spekulatif terhadap empat huruf mati YHWH. Harold Bloom,
menulis, bahwa YHWH adalah nama Tuhan Israel yang tidak pernah bisa diketahui
pengucapannya: “The four-letter YHWH is God’s proper name in the Hebrew
Bible, where it appears some six thousand times. How the name was pronounced we
never will know.” (Harold Bloom, Jesus and Yahweh, (New York:
Berkley Publishing Groups, 2005).
Karena itulah, menurut Pdt. Parhusip
kaum Kristen boleh menyebut nama Tuhan sesuai dengan apa yang terbersit
dalam hati mereka. Ia menulis dalam buku kecilnya: ”Lalu mungkin
ada yang bertanya: Siapakah Pencipta itu dan bagaimanakah kalau kita mau
memanggil Pencipta itu? Jawabnya: Terserah pada Anda! Mau panggil; Pencipta!
Boleh! Mau panggil: Perkasa! Silahkan! Mau panggil: Debata! Boleh! Mau panggil:
Allah! Boleh! Mau panggil: Elohim atau Theos atau God atau Lowalangi atau
Tetemanis...! Silakan! Mau memanggil bagaimana saja boleh, asalkan tujuannya
memanggil Sang Pencipta, yang menciptakan langit dan bumi... Ya, silakan
menyebut dan memanggil Sang Pencipta itu menurut apa yang ditaruh oleh Pencipta
itu di dalam hati Anda, di dalam hati kita masing-masing.”
Jadi, apa kaum Kristen di wilayah
Nusantara sebaiknya masih menggunakan kata Allah? Patut direnungkan,
bahwa kaum Muslim telah resmi menjadikan Allah sebagai nama Tuhan – bukan
sekedar sebutan – sejak al-Quran melakukan Islamisasi konsep ’Allah’ versi kaum
musyrik Quraisy dan versi kaum Kristen Arab pra-Islam. Beda dengan kaum
Kristen, bagi Muslim, ’Allah’ adalah nama Tuhan yang Maha Esa, dan menjadi kata
terpenting dalam Islam. Sementara itu, sebagaimana di negara-negara Barat,
Bali, dan daerah lainnya, kaum Kristen juga terbiasa menyebut Tuhan tanpa
menggunakan kata ’Allah’.
No comments:
Post a Comment