Lampu dan kapstok |
Ceritasufi - TPS baru saja ditutup, Pemilukada dipastikan hampir bisa diliat hasilnya. Alkisah, sejenak setelah datang dari perjalan 3 jam, aku bersiap untuk sholat asar. Waktu hampir 4.30 sore, segera aku berganti pakaian menunaikan Asar.
Komputer telah on sesaat aku datang setelah empat hari tak dibelai. Debu keyboard kusapu dengan jemari yang masih tersucikan oleh whudu. Perasaan sedikit lega karena hujan tak menimpa sepanjang perjalanan. Rasa dingin di kulit menukik, cepat kutarik kaos panjang eager dan menuju meja komputer.
Masa dimana Islam menjadi bahan ledekan umat lain. Jumlah bukan menjadi penentu kemenangan. Islam menjadi hidangan tiga kali sehari saat ini.
Azan di laptop berdering. Bergegas ku starter kuda besi meluncur keluar gang sempit yang hanya pas keluar masuk untuk satu mobil. Artinya kalau ada mobil yang masuk atau keluar, kendaran lain harus menunggu hingga mobil ini melewati mulut gang.
Dengan setelan koko merah marun dan jeans hitam, kaki kanan terus menapak pertama anak tangga yang telah mengkilap ber-tail. Aku tak langsung sholat tahiyatul mesjid, berharap tidak mengganggu sang muazzin yang akan mengumandangkan iqomah karena harus menunggu ku selesai sholat masuk mesjid.
Celingak-celinguk, ku lihat orang di sekitar saling berbincang, entah apa yang mereka obrolkan, hatiku masih ragu untuk sholat sunnah tiap saat memasuki mesjid. Sabar ku lihat geliat beberapa orang yang abru masuk juga berlaku sama seperti ku. Sembari menggenggang jemari ayng kusilangkan ke depan, aku diam khusus berdzikir. Begitulah seingatku pelajaran agama yang pernah diajarkan sewaktu masa sekolah dulu. Sangat tidak layak umat Islam untuk berbincang tentang hal dunia saat memasuki dan di dalam mesjid.
Walau cuma ini yang aku tahu, paling tidak aku mencoba untuk konsisten dalam mengamalkan perbuatan ini. Diam dan menyimak komando sang Muazzin dan Imam.
Namun syetan menang juga, telingaku menangkap serpihan kata-kata "mencoblos". Memang hari ini adalah tanggal bersejarah dalam mengukir seorang pemimpin di kota kami. Pembicaraan siapa yang menag dan kalah dalam adu suara, hangat di dalam mesjid. Tak ada lagi sopan-santun dengan Allah.
Diam ku tundukkan kepala berharap hatiku tetap terpusat pada ujaran dzikir sir. "Hasbunallah wa ni'mal wakil" membatin kulafalkan ini terus. Mataku liar menunggu Muazzin. Bapak berbaju batik yang ikut dalam obrolan itu maju ke depan dan memanggil waktu sholat Mahrib.
"Alhamdulillah, akhirnya kebisingan ini hilang".
Sebelum pulang, aku mampir ke Rumah Roti. Perutku telah menunjukkan kekosongannya. Ku ambil tiga keping roti. Motor kugeber pelan saat memasuki depan gang. Seperti biasa, waspada saat memasuki mulut gang, kalu-kalau ada kendaraan yang melaju. Karena rata-rata pemakai kendaran saat jam mahrib adalah seumuran SMA yang lagi suka ngebut kalau keluar gang.
Kusibak kasur yang masih terlipat. Kulihat hamparan buku yang belum juga selesai kubaca. Beebrapa paragrap yang sudah kubaca "History of the Arabs" karangan Philip K. Hitty (sebagai perbandingan referensi terhadap penulis barat tentang Islam) mengingatkan aku akan kejadin di mesjid tadi. Ternyata kejadian ini terjadi pada zaman penyebaran Islam. Saat itu Islam menjadi kekuatan besar dan hebat. Melebarkan sayap kesana-sini. Hingga bercokol di Spayol untuk beberap saat.
Saat pemilihan Raja, rakyat seperti saya akan berbincang tentang masa depan negara. Siapa yang akan memajukan negara ini? Siapa pula yang menjadi batu sandungannya?
Mungkin Islam akan kalah hanyut lagi. karena Rosulullah telah memperingatkan kita.
Sebagaimana yang diriwayatkan Abu Daud, "Akan datang suatu masa, umat lain akan memperebutkan kamu, ibarat orang-orang yang lapar memperebutkan makanan dalam hidangan. Sahabat bertanya: "Apakah pada saat itu jumlah kami hanya sedikit ya Rosulullah?" Dijawb oleh beliau: "Tidak, bahkan sesungguhnya jumlah kamu pada saat itu banyak, tetapi kualitas kamu ibarat buih yang terapung di atas air bah. Dan dalam jiwamu tertanam kelemahan jiwa. Sahabat bertanya, "Apa yang dimaksud kelemahan jiwa, ya Rosulullah ?" Beliau menjawab, "Yaitu cinta dunia dan takut mati".
"Yah..mungkin ini jawaban nya, sebagian. Salah satu ciri kekalahan Islam. Banyak tapi penonton, banyak tapi berderai. Dan lebih lagi, Rosulullah mengisyratkan bahwa lemahnya jiwa orang-orang Islam, yaitu cinta dunia dan takut mati.
Na'uzubillah himanzalik. Semoga Allah selalu menggenggam kita dalam Lindungan dan Keharibaan Nya.
No comments:
Post a Comment