Selamat Membaca dan Jangan Lupa Isikan Komentar Anda Ya.....
Barangsiapa belajar ilmu figh tanpa belajar tassawuf maka ia adalah fasiq. Siapa saja yang belajar Ilmu Tassawuf tanpa belajar Ilmu Figh maka ia adalah Zindiq, dan siapa saja yang mengumpulkan keduanya, maka ia adalah ahli Hakikat (Syeikh Al Fasi, Qawaid Al-Tasawwuf)

Thursday, 13 September 2012

Al Mawardi Pencetus Politik Islam

Ceritasufi - Di masa kekhalifahan Bani Abbasiyah, khazanah intelektualisme mengalami kemajuan yang sangat berarti. Bahkan sebagian kalangan menilai, zaman itu sebagai salah satu tonggak kebangkitan peradaban Islam dan keemasan keilmuan. Salah satu tokoh ilmuwan dan pelopor kemajuan itu adalah Al Mawardi.
Sejarah Islam mencatat Al Mawardi sebagai pemikir dan peletak dasar keilmuan politik Islam. Tokoh yang pernah menjadi qadhi (hakim) dan duta keliling khalifah ini juga menjadi penyelamat berbagai kekacauan politik di negaranya, Basrah (kini Irak). "Al Khatib of Baghdad" tulis seorang orientalis. 
Ulama penganut Mazhab Syafi'i ini bernama lengkap Abu Al Hasan Ali bin Habib Al Mawardi. Lahir di kota pusat peradaban Islam klasik, Basrah (Baghdad) pada 386 H/975 M, Al Mawardi menerima pendidikan pertamanya di kota kelahirannya. Ia belajar ilmu hukum dari Abul Qasim Abdul Wahid as Saimari, seorang ahli hukum Mazhab Syafi'i terkenal kala itu. 
Kemudian, ia pindah ke Baghdad melanjutkan pelajaran hukum, tata bahasa, dan kesusasteraan dari Abdullah al Bafi dan Syekh Abdul Hamid al Isfraini. Dalam waktu singkat ia telah menguasai dengan baik ilmu-ilmu agama, seperti hadis dan fiqh, juga politik, filsafat, etika, dan sastra. 
Sebagai seorang penasihat politik, Al Mawardi menempati kedudukan yang penting di antara sarjana-sarjana Muslim. Dia diakui secara universal sebagai salah seorang ahli hukum terbesar pada zamannya. Al Mawardi mengemukakan fiqh Mazhab Syafi'i dalam karya besarnya Al Hawi, yang dipakai sebagai buku rujukan tentang hukum Mazhab Syafi'i oleh ahli-ahli hukum di kemudian hari, termasuk Al Isnavi yang sangat memuji karya tersebut. Buku Al Mawardi ini terdiri 8.000 halaman, kemudian ia ringkas dalam 40 halaman berjudul Al Iqra.
Pemikiran
Menelaah pemikiran Al Mawardi, bisa dikatakan cukup dengan membaca karya besarnya, yakni Al Ahkaam Al Shultoniyah (Hukum dan Prinsip Kekuasaan), yang menjadi master piece-nya. Meskipun ia juga menulis beberapa buku lainnya, namun dalam buku      Al Ahkaam Al Shultoniyah inilah pokok pemikiran dan gagasannya menyatu.
Dalam magnum opusnya ini, termuat prinsip-prinsip politik kontemporer dan kekuasaan, yang pada masanya dapat dikatakan sebagai pemikiran yang sangat maju, bahkan sampai kini sekalipun. Dalam buku ini misalnya, dibahas masalah pengangkatan imamah (kepala‘'negara/pemimpin), pengangkatan menteri, gubernur, panglima perang, jihad bagi kemaslahatan umum, jabatan hakim, jabatan wali pidana.
Selain itu, juga dibahas masalah imam shalat, zakat, fa'i dan ghanimah (harta peninggalan dan pampasan perang), ketentuan pemberian tanah, ketentuan daerah-daerah yang berbeda status, hukum seputar tindak kriminal, fasilitas umum, penentuan pajak dan jizyah, masalah protektorat, masalah dokumen negara dan lain sebagainya.
Baginya, imam (yang dalam pemikirannya adalah seorang raja, presiden, sultan) merupakan sesuatu yang niscaya. Artinya, keberadaannya sangat penting dalam suatu masyarakat atau negara. Karena itu, jelasnya, tanpa imam akan timbul suasana chaos. Manusia menjadi tidak bermartabat, begitu juga suatu bangsa menjadi tidak berharga.
Lantas bagaimana ketentuan seorang imamah yang dianggap legal? Dalam hal ini, Al-Mawardi menjelaskan, jabatan imamah (kepemimpinan) dinilai sah apabila memenuhi dua metodologi. Pertama, dia dipilih oleh parlemen (ahlul halli wal aqth). Mereka inilah yang memiliki wewenang untuk mengikat dan mengurai, atau juga disebut model `Al Ikhtiar.'
Kedua, ditunjuk oleh imam sebelumnya. Model pertama selaras dengan demokrasi dalam konteks modern. Sementara, tipe kedua, Al-Mawardi merujuk pada eksperimen sejarah, yakni pengangkatan khalifah Umar bin Khattab oleh khalifah sebelumnya, Abu Bakar As Shiddiq.
Dalam pandangan Al-Mawardi, negara adalah sebuah kesatuan komunitas yang dipimpin oleh seorang khalifah yang memiliki otoritas penuh, baik yang didapat lewat proses suksesi maupun proses pemilihan. Hubungan antara pemimpin negara (khalifah) dan warganya, dalam kaitan ini adalah, hubungan kontrak yang diikat dalam sebuah baiat. Baiat penguasa bisa dilakukan secara umum di hadapan seluruh rakyat maupun dilakukan di depan para majelis syura (wakil rakyat) yang juga dikenal sebagai lembaga pengangkat dan pembubar.
Dalam masalah pemecatan seorang khalifah, A1-Mawardi menyebutkan dua hal yang mengubah kondite dirinya, dan karenanya ia harus mundur dari jabatannya itu. Pertama, cacat dalam keadilannya (bisa disebabkan akibat syahwat, atau akibat syubhat. Kedua, cacat tubuh. Dalam kaitan ini adalah cacat pancaindera (termasuk cacat yang menghalangi seseorang untuk diangkat sebagai seorang imam, seperti hilang ingatan secara permanen, hilang penglihatan).
Selain itu, juga cacat organ tubuh, dan cacat tindakan. Sedangkan cacat yang tidak menghalangi untuk diangkat sebagai imam, seperti cacat hidung yang menyebabkan tidak mampu mencium bau sesuatu, cacat alat perasa, seperti membedakan rasa makanan.
Berkaitan dengan masalah jihad, Al-Mawardi menegaskan, selain perintah jihad kepada orang kafir, jihad dibagi menjadi tiga bagian: jihad untuk memerangi orang murtad, jihad melawan para pemberontak (dikenal juga sebagai bughat), dan jihad melawan para pengacau keamanan. Bila kita cermati, pembagian versi Al-Mawardi ini selalu tersangkut-paut dengan politik kekuasaan, alias mengalami reduksi dari maknanya yang luas.
Dalam hubungannya jihad terhadap mereka yang murtad, Al-Mawardi membagi dua kondisi. Pertama, mereka berdomisili di negara Islam dan tidak memiliki wilayah otonom. Dalam kondisi seperti ini, mereka tidak berhak diperangi, melainkan perlu diteliti latar belakang keputusannya untuk kemudian diupayakan bertobat. Kedua, mereka memiliki wilayah otonom di luar wilayah Islam. Mereka wajib diperangi.
Soal jihad melawan pemberontak, ia menulis, "Jika salah satu kelompok dari kaum Muslimin memberontak, menentang pendapat (kebijakan) jamaah kaum Muslimin lainnya, dan menganut pendapat yang mereka ciptakan sendiri; jika dengan pendapatnya itu mereka masih taat kepada sang imam, tidak memiliki daerah otonom di mana mereka berdomisili di dalamnya, mereka terpencar yang memungkinkan untuk ditangkap, berada dalam jangkauan negara Islam, maka mereka dibiarkan, tidak diperangi, kewajiban dan hak mereka sama dengan kaum Muslimin lainnya."
Dalam banyak hal, khususnya dalam konteks demokrasi dan politik modern, sulit rasanya menerapkan konsep dan pemikiran Al-Mawardi secara penuh. Barangkali, hanya beberapa bagian, semisal dalam masalah kualifikasi dan pengangkatan seorang imam, juga masalah pembagian kekuasaan di bawahnya. Namun demikian, wacana yang dilontarkan Al-Mawardi ini sangat berbobot ketika diletakkan sebagai antitesis dari kegagalan teori demokrasi, dan sumbangan khazanah berharga bagi perkembangan politik Islam modern.
Bahkan, harus diakui pula bahwa pemikiran dan gagasannya memiliki pengaruh besar atas penulis-penulis generasi selanjutnya, terutama di negeri-negeri Islam. Pengaruh ini misalnya, terlihat pada karya Nizamul Mulk Tusi, yakni Siyasat Nama, dan Prolegomena karya Ibnu Khaldun. Khaldun, yang diakui sebagai peletak dasar sosiologi, dan pengarang terkemuka mengenai ekonomi politik tak ragu lagi telah melebihi A1-Mawardi dalam banyak hal.
Setelah seluruh hayatnya diabdikan untuk dunia ilmu dan kemaslahatan umat, Sang Khaliq akhirnya memanggil Al-Mawardi untuk selamalamanya pada 1058 M, dalam usia 83 tahun.
Pada tahun 1037 M, khalifah Al Qadir mengundang empat orang ahli hukum mewakili keempat mazhab fikih (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali). Mereka diminta menulis sebuah buku fikih. Al-Mawardi terpilih untuk menulis buku fikih Mazhab Syafi'i.
Setelah selesai, hanya dua orang yang memenuhi permintaan khalifah sesuai yang diharapkan, yakni Al Quduri dengan bukunya Al Mukhtashor (Ringkasan), dan Al Mawardi dengan kitabnya Kitab Al Igna'. Khalifah memuji karya Al-Mawardi sebagai yang terbaik, dan menyuruh para penulis kerajaan untuk menyalinnya, lalu menyebarluaskannya ke seluruh perpustakaan Islam di wilayah kekuasaannya.
Selain kedua karyanya itu, yakni IÚ'tab Al Igna', dan Al Ahkaam al Shultoniyah, Al-Mawardi yang sejak kecil bercita-cita menjadi pegawai negeri ini juga menulis buku Adab al Wazir (Etika Menteri), Siyasat al Malik (Politik Raja), Tahsil un Nasr wat Tajit uz Zafar (Memudahkan Penaklukan dan Mempercepat Kemenangan). Al Ahkam al Shultonlyah telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Prancis, Italia, Indonesia, dan Urdu.
Al Mawardi juga menulis buku tentang 'perumpamaan' dalam Al-Quran, yang menurut pendapat Imam As Suyuthi, merupakan buku pertama dalam soal ini. Menekankan pentingnya buku ini, Al-Mawardi menulis, "Salah satu dari ilmu Quran yang pokok adalah ilmu 'ibarat' atau 'umpama'."

Artikel Terkait:

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

PRAY TIME

Al Mawardi Pencetus Politik Islam

Ceritasufi - Di masa kekhalifahan Bani Abbasiyah, khazanah intelektualisme mengalami kemajuan yang sangat berarti. Bahkan sebagian kalangan menilai, zaman itu sebagai salah satu tonggak kebangkitan peradaban Islam dan keemasan keilmuan. Salah satu tokoh ilmuwan dan pelopor kemajuan itu adalah Al Mawardi.
Sejarah Islam mencatat Al Mawardi sebagai pemikir dan peletak dasar keilmuan politik Islam. Tokoh yang pernah menjadi qadhi (hakim) dan duta keliling khalifah ini juga menjadi penyelamat berbagai kekacauan politik di negaranya, Basrah (kini Irak). "Al Khatib of Baghdad" tulis seorang orientalis. 
Ulama penganut Mazhab Syafi'i ini bernama lengkap Abu Al Hasan Ali bin Habib Al Mawardi. Lahir di kota pusat peradaban Islam klasik, Basrah (Baghdad) pada 386 H/975 M, Al Mawardi menerima pendidikan pertamanya di kota kelahirannya. Ia belajar ilmu hukum dari Abul Qasim Abdul Wahid as Saimari, seorang ahli hukum Mazhab Syafi'i terkenal kala itu. 
Kemudian, ia pindah ke Baghdad melanjutkan pelajaran hukum, tata bahasa, dan kesusasteraan dari Abdullah al Bafi dan Syekh Abdul Hamid al Isfraini. Dalam waktu singkat ia telah menguasai dengan baik ilmu-ilmu agama, seperti hadis dan fiqh, juga politik, filsafat, etika, dan sastra. 
Sebagai seorang penasihat politik, Al Mawardi menempati kedudukan yang penting di antara sarjana-sarjana Muslim. Dia diakui secara universal sebagai salah seorang ahli hukum terbesar pada zamannya. Al Mawardi mengemukakan fiqh Mazhab Syafi'i dalam karya besarnya Al Hawi, yang dipakai sebagai buku rujukan tentang hukum Mazhab Syafi'i oleh ahli-ahli hukum di kemudian hari, termasuk Al Isnavi yang sangat memuji karya tersebut. Buku Al Mawardi ini terdiri 8.000 halaman, kemudian ia ringkas dalam 40 halaman berjudul Al Iqra.
Pemikiran
Menelaah pemikiran Al Mawardi, bisa dikatakan cukup dengan membaca karya besarnya, yakni Al Ahkaam Al Shultoniyah (Hukum dan Prinsip Kekuasaan), yang menjadi master piece-nya. Meskipun ia juga menulis beberapa buku lainnya, namun dalam buku      Al Ahkaam Al Shultoniyah inilah pokok pemikiran dan gagasannya menyatu.
Dalam magnum opusnya ini, termuat prinsip-prinsip politik kontemporer dan kekuasaan, yang pada masanya dapat dikatakan sebagai pemikiran yang sangat maju, bahkan sampai kini sekalipun. Dalam buku ini misalnya, dibahas masalah pengangkatan imamah (kepala‘'negara/pemimpin), pengangkatan menteri, gubernur, panglima perang, jihad bagi kemaslahatan umum, jabatan hakim, jabatan wali pidana.
Selain itu, juga dibahas masalah imam shalat, zakat, fa'i dan ghanimah (harta peninggalan dan pampasan perang), ketentuan pemberian tanah, ketentuan daerah-daerah yang berbeda status, hukum seputar tindak kriminal, fasilitas umum, penentuan pajak dan jizyah, masalah protektorat, masalah dokumen negara dan lain sebagainya.
Baginya, imam (yang dalam pemikirannya adalah seorang raja, presiden, sultan) merupakan sesuatu yang niscaya. Artinya, keberadaannya sangat penting dalam suatu masyarakat atau negara. Karena itu, jelasnya, tanpa imam akan timbul suasana chaos. Manusia menjadi tidak bermartabat, begitu juga suatu bangsa menjadi tidak berharga.
Lantas bagaimana ketentuan seorang imamah yang dianggap legal? Dalam hal ini, Al-Mawardi menjelaskan, jabatan imamah (kepemimpinan) dinilai sah apabila memenuhi dua metodologi. Pertama, dia dipilih oleh parlemen (ahlul halli wal aqth). Mereka inilah yang memiliki wewenang untuk mengikat dan mengurai, atau juga disebut model `Al Ikhtiar.'
Kedua, ditunjuk oleh imam sebelumnya. Model pertama selaras dengan demokrasi dalam konteks modern. Sementara, tipe kedua, Al-Mawardi merujuk pada eksperimen sejarah, yakni pengangkatan khalifah Umar bin Khattab oleh khalifah sebelumnya, Abu Bakar As Shiddiq.
Dalam pandangan Al-Mawardi, negara adalah sebuah kesatuan komunitas yang dipimpin oleh seorang khalifah yang memiliki otoritas penuh, baik yang didapat lewat proses suksesi maupun proses pemilihan. Hubungan antara pemimpin negara (khalifah) dan warganya, dalam kaitan ini adalah, hubungan kontrak yang diikat dalam sebuah baiat. Baiat penguasa bisa dilakukan secara umum di hadapan seluruh rakyat maupun dilakukan di depan para majelis syura (wakil rakyat) yang juga dikenal sebagai lembaga pengangkat dan pembubar.
Dalam masalah pemecatan seorang khalifah, A1-Mawardi menyebutkan dua hal yang mengubah kondite dirinya, dan karenanya ia harus mundur dari jabatannya itu. Pertama, cacat dalam keadilannya (bisa disebabkan akibat syahwat, atau akibat syubhat. Kedua, cacat tubuh. Dalam kaitan ini adalah cacat pancaindera (termasuk cacat yang menghalangi seseorang untuk diangkat sebagai seorang imam, seperti hilang ingatan secara permanen, hilang penglihatan).
Selain itu, juga cacat organ tubuh, dan cacat tindakan. Sedangkan cacat yang tidak menghalangi untuk diangkat sebagai imam, seperti cacat hidung yang menyebabkan tidak mampu mencium bau sesuatu, cacat alat perasa, seperti membedakan rasa makanan.
Berkaitan dengan masalah jihad, Al-Mawardi menegaskan, selain perintah jihad kepada orang kafir, jihad dibagi menjadi tiga bagian: jihad untuk memerangi orang murtad, jihad melawan para pemberontak (dikenal juga sebagai bughat), dan jihad melawan para pengacau keamanan. Bila kita cermati, pembagian versi Al-Mawardi ini selalu tersangkut-paut dengan politik kekuasaan, alias mengalami reduksi dari maknanya yang luas.
Dalam hubungannya jihad terhadap mereka yang murtad, Al-Mawardi membagi dua kondisi. Pertama, mereka berdomisili di negara Islam dan tidak memiliki wilayah otonom. Dalam kondisi seperti ini, mereka tidak berhak diperangi, melainkan perlu diteliti latar belakang keputusannya untuk kemudian diupayakan bertobat. Kedua, mereka memiliki wilayah otonom di luar wilayah Islam. Mereka wajib diperangi.
Soal jihad melawan pemberontak, ia menulis, "Jika salah satu kelompok dari kaum Muslimin memberontak, menentang pendapat (kebijakan) jamaah kaum Muslimin lainnya, dan menganut pendapat yang mereka ciptakan sendiri; jika dengan pendapatnya itu mereka masih taat kepada sang imam, tidak memiliki daerah otonom di mana mereka berdomisili di dalamnya, mereka terpencar yang memungkinkan untuk ditangkap, berada dalam jangkauan negara Islam, maka mereka dibiarkan, tidak diperangi, kewajiban dan hak mereka sama dengan kaum Muslimin lainnya."
Dalam banyak hal, khususnya dalam konteks demokrasi dan politik modern, sulit rasanya menerapkan konsep dan pemikiran Al-Mawardi secara penuh. Barangkali, hanya beberapa bagian, semisal dalam masalah kualifikasi dan pengangkatan seorang imam, juga masalah pembagian kekuasaan di bawahnya. Namun demikian, wacana yang dilontarkan Al-Mawardi ini sangat berbobot ketika diletakkan sebagai antitesis dari kegagalan teori demokrasi, dan sumbangan khazanah berharga bagi perkembangan politik Islam modern.
Bahkan, harus diakui pula bahwa pemikiran dan gagasannya memiliki pengaruh besar atas penulis-penulis generasi selanjutnya, terutama di negeri-negeri Islam. Pengaruh ini misalnya, terlihat pada karya Nizamul Mulk Tusi, yakni Siyasat Nama, dan Prolegomena karya Ibnu Khaldun. Khaldun, yang diakui sebagai peletak dasar sosiologi, dan pengarang terkemuka mengenai ekonomi politik tak ragu lagi telah melebihi A1-Mawardi dalam banyak hal.
Setelah seluruh hayatnya diabdikan untuk dunia ilmu dan kemaslahatan umat, Sang Khaliq akhirnya memanggil Al-Mawardi untuk selamalamanya pada 1058 M, dalam usia 83 tahun.
Pada tahun 1037 M, khalifah Al Qadir mengundang empat orang ahli hukum mewakili keempat mazhab fikih (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali). Mereka diminta menulis sebuah buku fikih. Al-Mawardi terpilih untuk menulis buku fikih Mazhab Syafi'i.
Setelah selesai, hanya dua orang yang memenuhi permintaan khalifah sesuai yang diharapkan, yakni Al Quduri dengan bukunya Al Mukhtashor (Ringkasan), dan Al Mawardi dengan kitabnya Kitab Al Igna'. Khalifah memuji karya Al-Mawardi sebagai yang terbaik, dan menyuruh para penulis kerajaan untuk menyalinnya, lalu menyebarluaskannya ke seluruh perpustakaan Islam di wilayah kekuasaannya.
Selain kedua karyanya itu, yakni IÚ'tab Al Igna', dan Al Ahkaam al Shultoniyah, Al-Mawardi yang sejak kecil bercita-cita menjadi pegawai negeri ini juga menulis buku Adab al Wazir (Etika Menteri), Siyasat al Malik (Politik Raja), Tahsil un Nasr wat Tajit uz Zafar (Memudahkan Penaklukan dan Mempercepat Kemenangan). Al Ahkam al Shultonlyah telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Prancis, Italia, Indonesia, dan Urdu.
Al Mawardi juga menulis buku tentang 'perumpamaan' dalam Al-Quran, yang menurut pendapat Imam As Suyuthi, merupakan buku pertama dalam soal ini. Menekankan pentingnya buku ini, Al-Mawardi menulis, "Salah satu dari ilmu Quran yang pokok adalah ilmu 'ibarat' atau 'umpama'."

0 comments:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Affiliate Network Reviews